Pembantaian Rawagede adalah peristiwa pembantaian penduduk Kampung Rawagede (sekarang terletak di Desa Balongsari, Rawamerta, Karawang), di antara Karawang dan Bekasi, oleh tentara Belanda pada tanggal 9 Desember 1947 sewaktu melancarkan agresi militer pertama. Sejumlah 431 penduduk menjadi korban pembantaian ini.
Ketika tentara Belanda menyerbu Bekasi, ribuan rakyat mengungsi ke
arah Karawang. Pertempuran kemudian berkobar di daerah antara Karawang
dan Bekasi, mengakibatkan jatuhnya ratusan korban jiwa dari kalangan
sipil. Pada tanggal 4 Oktober 1948,
tentara Belanda melancarkan pembersihan. Dalam peristiwa ini 35 orang
penduduk Rawagede dibunuh tanpa alasan jelas. Peristiwa dikira menjadi
inspirasi dari sajak terkenal Chairil Anwar berjudul Antara Karawang dan Bekasi, namun ternyata dugaan tersebut tidak terbukti.
Pada 14 September 2011, Pengadilan Den Haag menyatakan pemerintah
Belanda harus bertanggung jawab dan membayar kompensasi bagi korban dan
keluarganya.
Jalannya peristiwa
Di Jawa Barat, sebelum Perjanjian Renville ditandatangani, tentara Belanda dari Divisi 1 yang juga dikenal sebagai Divisi 7 Desember melancarkan pembersihan unit pasukan TNI
dan laskar-laskar Indonesia yang masih mengadakan perlawanan terhadap
Belanda. Pasukan Belanda yang ikut ambil bagian dalam operasi di daerah
Karawang adalah Detasemen 3-9 RI, pasukan para (1e para compagnie) dan 12 Genie veld compagnie, yaitu brigade cadangan dari pasukan para dan DST (Depot Speciaale Troepen).
Sekitar 130.000 tentara Belanda dikirim ke bekas Hindia Belanda, sekarang Indonesia.Dalam operasinya di daerah Karawang, tentara Belanda memburu Kapten Lukas Kustario, komandan kompi Siliwangi - kemudian menjadi Komandan Batalyon Tajimalela/Brigade II Divisi Siliwangi
- yang berkali-kali berhasil menyerang patroli dan pos-pos militer
Belanda. Di wilayah Rawagede juga berkeliaran berbagai laskar, bukan
hanya pejuang Indonesia namun juga gerombolan pengacau dan perampok.
Pada 9 Desember
1947, sehari setelah perundingan Renville dimulai, tentara Belanda di
bawah pimpinan seorang mayor mengepung Dusun Rawagede dan menggeledah
setiap rumah. Namun mereka tidak menemukan sepucuk senjata pun. Mereka
kemudian memaksa seluruh penduduk keluar rumah masing-masing dan
mengumpulkan di tempat yang lapang. Penduduk laki-laki diperintahkan
untuk berdiri berjejer, kemudian mereka ditanya tentang keberadaan para
pejuang Republik. Namun tidak satu pun rakyat yang mengatakan tempat
persembunyian para pejuang tersebut.
Pemimpin tentara Belanda kemudian memerintahkan untuk menembak mati
semua penduduk laki-laki, termasuk para remaja belasan tahun. Beberapa
orang berhasil melarikan diri ke hutan, walaupun terluka kena tembakan.
Saih, kini berusia 83 tahun menuturkan bahwa dia bersama ayah dan para
tetangganya sekitar 20 orang jumlahnya disuruh berdiri berjejer. Ketika
tentara Belanda memberondong dengan senapan mesin
–istilah penduduk setempat: "didrèdèt"- ayahnya yang berdiri di
sampingnya tewas kena tembakan, dia juga jatuh kena tembak di tangan,
namun dia pura-pura mati. Ketika ada kesempatan, dia segera melarikan
diri.
Hari itu tentara Belanda membantai 431 penduduk Rawagede. Tanpa ada pengadilan, tuntutan ataupun pembelaan. Seperti di Sulawesi Selatan, tentara Belanda di Rawagede juga melakukan eksekusi di tempat (standrechtelijke excecuties),
sebuah tindakan yang jelas merupakan kejahatan perang. Diperkirakan
korban pembantaian lebih dari 431 jiwa, karena banyak yang hanyut dibawa
sungai yang banjir karena hujan deras.
Seorang veteran tentara Belanda yang tidak mau disebutkan namanya dari desa Wamel,
sebuah desa di propinsi Gerderland, Belanda Timur mengirim surat kebata
korban perang sebagai berikut: Dari arah Rawa Gedeh tentara Belanda
ditembaki. Maka diputuskanlah untuk menghajar desa ini untuk dijadikan
pelajaran bagi desa-desa lain.Saat malam hari Rawa Gedeh dikepung.
Mereka yang mencoba meninggalkan desa, dibunuh tanpa bunyi
(diserang, ditekan ke dalam air sampai tenggelam; kepala mereka
dihantam dengan popor senjata dll)Jam setengah enam pagi, ketika mulai
siang, desa ditembaki dengan mortir. Pria, wanita dan anak-anak yang mau
melarikan diri dinyatakan patut dibunuh: semuanya ditembak mati.
Setelah desa dibakar, tentara Belanda menduduki wilayah itu. Penduduk
desa yang tersisa lalu dikumpulkan, jongkok, dengan tangan melipat di
belakang leher. Hanya sedikit yang tersisa. Belanda menganggap Rawa
Gedeh telah menerima pelajarannya.Semua lelaki ditembak mati oleh
pasukan yang dinamai Angkatan Darat Kerajaan. Semua perempuan ditembak
mati, padahal Belanda negara demokratis. Semua anak ditembak mati.
Desa Wamel pada tanggal 20 September 1944 diserbu tentara Jerman. 14
warga sipil tewas dibunuh secara keji oleh tentara Jerman. Nampaknya
dari peristiwa Wamel ini, sang veteran menulis surat penyesalan
tersebut.
Hujan yang mengguyur mengakibatkan genangan darah membasahi desa
tersebut. Yang tersisa hanya wanita dan anak-anak. Keesokan harinya,
setelah tentara Belanda meninggalkan desa tersebut, para wanita
menguburkan mayat-mayat dengan peralatan seadanya. Seorang ibu
menguburkan suami dan dua orang putranya yang berusia 12 dan 15 tahun.
Mereka tidak dapat menggali lubang terlalu dalam, hanya sekitar 50 cm
saja. Untuk pemakaman secara Islam, yaitu jenazah ditutup dengan
potongan kayu, mereka terpaksa menggunakan daun pintu, dan kemudian
diurug tanah seadanya, sehingga bau mayat masih tercium selama
berhari-hari.
Kejahatan perang
Pimpinan Republik kemudian mengadukan peristiwa pembantaian ini
kepada Committee of Good Offices for Indonesia (Komisi Jasa Baik untuk
Indonesia) dari PBB. Namun tindakan Komisi ini hanya sebatas pada kritik
terhadap aksi militer tersebut yang mereka sebut sebagai “deliberate
and ruthless”, tanpa ada sanksi yang tegas atas pelanggaran HAM, apalagi
untuk memandang pembantaian rakyat yang tak bedosa sebagai kejahatan
perang (war crimes).
Tahun 1969 atas desakan Parlemen Belanda, Pemerintah Belanda
membentuk tim untuk meneliti kasus-kasus pelanggaran/penyimpangan yang
dilakukan oleh tentara tentara kerajaan Belanda (KL, Koninklijke
Landmacht dan KNIL, Koninklijke Nederlands-Indische Leger) antara tahun
1945 – 1950. Hasil penelitian disusun dalam laporan berjudul “Nota
betreffende het archievenonderzoek naar gegevens omtrent excessen in
Indonesiė begaan door Nederlandse militairen in de periode 1945-1950”,
disingkat menjadi De Excessennota. Laporan resmi ini disampaikan oleh
Perdana Menteri de Jong pada 2 Juni 1969. Pada bulan Januari 1995
laporan tersebut diterbitkan menjadi buku dengan format besar (A-3)
setebal 282 halaman. Di dalamnya terdapat sekitar 140 kasus pelanggaran/
penyimpangan yang dilakukan oleh tentara Belanda. Dalam laporan De
Excessen Nota yang hampir 50 tahun setelah agresi militer mereka-
tercatat bahwa yang dibantai oleh tentara Belanda di Rawagede hanya
sekitar 150 jiwa. Juga dilaporkan, bahwa Mayor yang bertanggungjawab
atas pembantaian tersebut, demi kepentingan yang lebih tinggi, tidak
dituntut ke pengadilan militer.
Di Belanda sendiri, beberapa kalangan dengan tegas menyebutkan, bahwa
yang dilakukan oleh tentara Belanda pada waktu itu adalah kejahatan
perang (oorlogs-misdaden) dan hingga sekarang masih tetap menjadi bahan
pembicaraan, bahkan film dokumenter mengenai pembantaian di Rawagede
ditunjukkan di Australia. Anehnya, di Indonesia sendiri film dokumenter
ini belum pernah ditunjukkan.
Pembantaian di Sulawesi Selatan dan di Rawagede serta berbagai
pelanggaran HAM berat lain, hanya sebagian kecil bukti kejahatan perang
yang dilakukan oleh tentara Belanda, dalam upaya Belanda untuk menjajah
kembali bangsa Indonesia, setelah bangsa Indonesia menyatakan
kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
Namun hingga kini, Pemerintah Belanda tetap tidak mau mengakui
kemerdekaan RI adalah 17.8.1945. Pemerintah Belanda tetap menyatakan,
bahwa pengakuan kemerdekaan RI telah diberikan pada 27 Desember 1949,
dan hanya menerima 17.8.1945 secara politis dan moral –de facto- dan
tidak secara yuridis –de jure- sebagaimana disampaikan oleh Menlu
Belanda Ben Bot di Jakarta pada 16 Agustus 2005.
Tuntutan kepada pemerintah Belanda pertama kali disampaikan oleh
Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia [KNPMBI]. [petisi .
KNPMBI didirkan pada 9 Maret 2002.
Karena lingkup kegiatan KNPMBI sangat luas, maka khusus untuk
menangani hal-hal yang sehubungan dengan Belanda, Ketua Umum KNPMBI,
Batara R. Hutagalug bersama aktifis KNPMBI pada 5 Mei 2005 bertempat di
gedung Joang '45, mendirikan Komite Utang Kehormatan Belanda
[KUKB]. Pada 15 Desember 2005, Batara R. Hutagalung, Ketua Komite Utang
Kehormatan Belanda dan Laksamana Pertama TNI (Purn.) Mulyo Wibisono,
Ketua Dewan Penasihat KUKB bersama aktivis KUKB di Belanda diterima oleh
Bert Koenders, juru bicara Fraksi Partij van de Arbeit (PvdA) di gedung
parlemen Belanda di Den Haag.[1]
Dalam kunjungannya ke Belanda, pada 18 Desember 2005, Ketua KUKB
Batara R. Hutagalung meresmikan KUKB Cabang Belanda dan mengangkat
Jeffry Pondaag sebagai Ketua KUKB Cabang Belanda, serta Charles Suryandi
sebagai sekretaris. KUKB di Belanda membentuk badan hukum baru, yayasan
K.U.K.B. Anggota Dewan Penasihat KUKB, Abdul Irsan SH., yang juga
mantan Duta Besar RI untuk Kerajaan Belanda, memberi sumbangan untuk
biaya pendirian yayasan, dan untuk membayar pengacara di Belanda yang
akan mewakili tuntutan para janda korban di Rawagede. Belakangan, KUKB
dan Yayasan KUKB pecah.
Yayasan KUKB bersama para janda, penyintas (survivor), dan saksi
korban pembantaian di Rawagede menuntut kompensasi dari Pemerintah
Belanda. Liesbeth Zegveld dari biro hukum Bohler menjadi pengacara
mereka.
Pada 15 Agustus 2006, 15 Agustus 2007 dan 15 Agustus 2008 KUKB
pimpinan Batara R. Hutagalung bersama beberapa janda dan korban yang
selamat dari pembantaian di Rawagede melakukan demonstrasi di depan
Kedutaan Belanda di Jakarta, dan setiap kali menyampaikan lagi tuntutan
kepada Pemerintah Belanda.
Parlemen Belanda cukup responsif dan cukup terbuka mengenai
pelanggaran HAM yang telah dilakukan oleh tentara Belanda antara 1945 –
1950, walaupun kemudian belum ada sanksi atau tindakan hukum
selanjutnya. Juga tidak pernah dibahas, mengenai kompensasi bagi para
korban dan keluarga korban yang tewas dalam pembantaian akibat agresi
militer, yang baru pada 16.8.2005 diakui oleh Menlu Belanda, bahwa
agresi militer tersebut telah menempatkan Belanda pada sisi sejarah yang
salah.
Pemerintah Belanda Dinyatakan Bersalah
Tujuh janda korban pembantaian, satu anak perempuan korban, dan
seorang lelaki penyintas (survivor) lantas menggugat pemerintah Belanda
atas kejadian di tahun 1947 itu. Jaksa pemerintah Belanda berpendapat
tuntutan mereka kadaluwarsa.
Namun, pengadilan Den Haag pada 14 September 2011 menyatakan
pemerintah Belanda bersalah dan harus bertanggung jawab. Pemerintah
Belanda diperintahkan membayar kompensasi bagi korban dan keluarganya.





0 komentar:
Posting Komentar